Rabu, 11 Januari 2012

KEPRIBADIAN GURU


BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
            Seperti yang kita tahu anak didik sedikit banyak akan mengikuti kepribadian gurunya yang mereka anggap sebagai anutannya. Secara tidak sadar kita sebagai guru dijadikan idola oleh anak didik kita. Penting sekali bagi guru atau calon guru untuk mengetahui hal ini. Sehubungan dengan mereka sebagai pendidik, Kita harus memiliki kepribadian yang baik jika ingin anak didik kita juga baik. Terutama guru-guru yang mendidik anak-anak sekolah dasar, mengapa demikian karena anak-anak umur sekolah dasar mudah sekali mengikuti kepribadian guru mereka karena mereka masih polos. Sebagai calon guru agar kita nanti menjadi guru yang di sukai oleh anak didik maka mulai sekaranglah kita melihat kembali apakah kita punya kepribadian yang baik atau tidak. Anak-anak suka dengan guru yang perhatian pada mereka dan tidak pilih kasih. Kita harus
mengenal terlebih dahulu kondisi kejiwaan anak-anak agar kita bisa memahami mereka dan membuat mereka merasa nyaman dengan kita, Kalau kita punya kepribadian yang baik InsyaAllah anak-anak senang dengan kita dan materi yang kita berikan pun akan mudah mereka serap, beda kalau guru yang tidak punya kepribadian yang baik pasti akan di benci oleh ank didik. Dan materi yang di sampaikan pun akan sulit dicerna meskipun anak tersebut cerdas.
            Selain kepribadian baik yang harus dimiliki oleh seorang guru, profesionalisme guru juga merupakan hal yang penting dalam keberlangsungan pendidikan. Saat ini profesionalisme guru sudah sangat menurun jadi untuk mencapai tujuan pendidikan kita harus meningkatkan kembali profesionalisme guru. Untuk itulah sebagai seorang guru terutama kita calon guru harus mempersiapkan diri agar menjadi guru yang profesional dan mempunyai kepribadian yang baik, guna menghasilkan anak-anak didik penerus bangsa yang berkualitas tinggi.







BAB II
KEPRIBADIAN GURU DAN MENURUNNYA PROFESIONALISME GURU
A.    Arti Kepribadian Guru
Faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya. kepribadian merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru sebagai pengembang sumber daya manusia, karena selain sebagai pembimbing dan pembantu guru juga berperan sebagai anutan. Menurut syiful Bahri  Djamarah (2008 : 104)  secara keseluruhan guru adalah figur yang menarik perhatian semua orang, entah dalam keluarga, dalam masyarakat atau di sekolah. Masyarakat melihat manusia sebagai manusia serba bisa tanpa cela dan nista. Mereka melihat guru sebagai figur yang kharismatik. Kemuliaan seorang guru tercermin dari kepribadian sebagi manifestasi dari sikap dan perilaku dari kehidupan sehari-hari.
Dalam arti sederhana, kepribadian berarti sifat hakiki individu yang tercermin pada sikap dan perbuatannya yang membedakan dirinya dari yang lain. Seperti di kutip oleh Muhibbin Syah (2005 : 225), Mcleod (1989) mengartikan kepribadian (personality) sebagai sifat khas yang dimiliki seseorang. Dalam hal ini, kata yang sangat dekat artinya dengan kepribadian adalah karakter dan identitas. Menurut tinjauan psikologi, kepribadian pada prinsipnya adalah susunan atau kesatuan antara aspek perilaku mental (pikiran, perasaan, dan sebagainya) dengan asper perilaku behavioral (perbuatan nyata). Aspek-aspek ini berkaitan secara fungsional dalam diri seorang individu, sehingga membuatnya bertingkah laku secara khas dan tetap (reber 1988). Setiap guru mempunyai pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang mereka miliki. Kepribadian sebenarnya adalah suatu masalah yang abstrak, hanya dapat dilihat lewat penampilan, tindakan, ucapan, cara berpakaian, dan dalam menghadapi setiap persoalan. Seperti yang di kutip syaiful Bahri Djamarah (2005 : 39-40), Zakiah Daradjat (1980) mengatakan bahwa kepribadian diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan asfek kehidupan.
B.     Pentingnya Kepribadian Guru
Kepribadiaan adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik. Dalam makna demikian, seluruh sikap dan perbuatan seseorang merupakan suatu gambaran dari kepribadian orang itu, asal dilakukan secara sadar. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang baik maka sering dikatakan bahwa seseorang itu mempunyai kepribadian yang baik atau berakhlak mulia. Sebaliknya, bila seseorang melakukan suatu sikap dan perbuatan yang tidak baik menurut pandangan mayarakat, maka dikatakan bahwa orang itu tidak mempunyai kepribadiaan yang  baik atau mempunyai akhlak yang tidak mulia. Oleh karena itu, masalah kepribadian adalah suatu hal yang sangat menentukan tinggi rendahnya kewibawaan seorang guru dalam pandangan anak didik atau masyarakat. Dengan kata lain baik tidaknya citra seseorang ditentukan oleh kepribadian. Mengenai pentingnya kepribadian guru Muhibbin Syah (2005 : 225-226)  telah mengutip bahwa seorang psikilog terkemuka, Profesor Doktor Zakiah Daradjat (1982) menegaskan: kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan Pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Kepribadian guru dapat dilihat dari tindakannya, ucapannya, caranya bergaul, berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah, baik yang ringan maupun yang berat. Menurut Zakiah Daradjat (2005 : 10) Mungkin dalam hal ini, lebih baik kita memandang kepribadian tersebut dari segi terpadu (integrated) atau tidaknya. Seseorang  yang memiliki kepribadian terpadu, dapat menghadapi segala persoalan dengan wajar dan sehat, karena segala unsur dalam pribadinya bekerja seimbang dan serasi. Pikirannya mampu bekerja dengan tenang, setiap masalah dapat dipahaminya secara obyektif, sebagaimana adanya. Maka sebagai guru ia dapat memahami kelakuan anak didik sesuai dengan perkembangan jiwa yang sedang dilaluinya. Pertanyaan anak didik dapat dipahami secara obyektif, artinya tidak ada dikaitkannya dengan persangkaan atau emosi yang tidak menyenangkan. Tidak jarang guru yang merasa rendah diri, menanggapi pertanyaan anak didik sebagai kritikan atau ancaman terhadap harga dirinya, maka jawabannya bercampur emosi,  misalnya dengan marah atau ancaman. Perasaan dan emosi guru yang mempunyai kepribadian terpadu tampak stabil, optimis dan menyenangkan. Dia dapat memikat hati anak didiknya, karena setiap anak merasa diterima dan disayangi oleh guru, betapapun sikap dan tingkah lakunya.
Guru yang goncang atau tidak stabil emosinya, misalnya mudah cemas, penakut, pemarah, penyedih dan pemurung. Menyebabkan anak didik akan terombang-ambing dibawa oleh arus emosi guru yang goncang tersebut karena anak didik yang masih dalam pertumbuhan jiwa itu juga dalam keadaan tidak stabil, karena masih dalam pertumbuhan dan perubahan. Biasanya guru yang tidak stabil emosinya tersebut tidak menyenangkan bagi anak didik, karena mereka seringkali merasa tidak dimengerti oleh guru. Kegoncangan perasaan anak didik itu akan menyebabkan kurangnya kemampuannya untuk menerima dan memahami pelajaran, sebab konsentrasi pikirannya diganggu oleh perasaannya yang goncang karena melihat atau menghadap guru yang goncang tadi.
Guru yang pemarah atau keras, akan menyebabkan anak didik takut. Ketakutan itu dapat bertumbuh atau berkembang menjadi benci. Karena takut itu menimbulkan derita atau ketegangan dalam hati anak, jika ia sering menderita oleh seorang guru, maka guru tersebut akan dijauhinya agar dapat menghindari derita yang mungkin terjadi. Akan tetapi sebagai anak didik yang harus patuh dan tunduk kepada peraturan sekolah, ia terpaksa tetap berada dalam kelas, ketika guru tersebut ada, maka lambat laun guru itu akan menjadi guru yang dibenci oleh anak didiknya. Apabila anak didik benci kepada guru, maka ia tidak akan berhasil mendapatkan bimbingan dan pendidikan dari guru tetsebut, selanjutnya ia akan menjadi bodoh walaupun kecerdasannya tinggi. Demikian pula dengan berbagai emosi lainnya yang tidak stabil, akan membawa kepada kegoncangan emosi pula pada anak didik, bahkan mungkin akan membawa kepada kegoncangan kejiwaan.
Tingkah laku atau moral guru pada umumnya, merupakan penampilan lain dari kepribadiannya. Bagi anak didik yang masih kecil, guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam pertumbuhannya, guru adalah orang yang pertama sesudah orang tua, yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Kalaulah tingkah laku atau akhlak guru tidak baik, pada umumnya akhlak anak didik akan rusak olehnya, karena anak mudah terpengaruh oleh orang yanag dikaguminya. Atau dapat juga menyebabkan anak didik gelisah, cemas atau terganggu jiwa karena ia menemukan contoh yang berbeda atau berlawanan dengan contoh yang selama ini didapatnya dirumah dari orang tuanya.
Sikap guru dalam menghadapi segala persoalan, baik menghadapi anak didik, teman-temannya sesama guru, kepala sekolah dan sekolah itu sendiri akan dilihat, diamati dan dinilai pula oleh anak didik. Sikap pilih kasih dalam memperlakukan anak didik, adalah yang paling cepat dirasakan oleh anak didik, karena semua anak mengharapkan perhatian dan kasih sayang gurunya. Kelakuan anak didik tidak boleh dijadikan alasan untuk membesakan perhatian, karena anak yang nakal misalnya, seringkali dimarahi dan dibenci oleh guru, karena ia sering mengganggu suasana sekolah. Akan tetapi guru yang bijaksana tidak akan benci kepada anak yang nakal, dia akan lebih memperhatikannya dan berusaha mengetahui latar belakang anak tersebut. Selanjutnya berusaha memperbaikinya secara individual. Sebagai seoang guru  banyak yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya misalnya dengan mengajaknya bicara di kantor atau di luar jam sekolah mungkin kita juga bias menghubungi orang tuanya dan masih banyak lagi cara yang bisa kita lakukan. Kenakalan anak itu bisa saja karena suasana keluarganya yang goncang dan menegangkan, atau karena broken home, sehingga ia bingung dan tertekan perasaannya. Maka gurulah orang terdekat tempat memantulkan perasaannya yang goncang itu.
Menurut Zakiah Daradjat (2005 : 12) Sikap guru terhadap agama juga merupakan salah satu penampilan kepribadian. Guru yang acuh tak acuh kepada agama akan menunjukkan sikap yang dapat menyebabkan anak didik terbawa pula kepada arus tersebut, bahkan kadang-kadang meyebabkan terganggunya jiwa anak didik. Sebuah contoh yang pernah terjadi di sebuah SMP di suatu kota sebagai  berikut: seorang anak didik kelas dua dibawa ke klinik jiwa, karena mengalami gangguan kejiwaan, cemas takut dan tidak dapat belajar. Setelah diteliti dan dikumpulkan oleh seorang dokter jiwa  informasi tentang berbagai peristiwa dan pengalaman yang terjadi pada anak tersebut, ternyata penyakit tersebut dideritanya sejak guru olah raga memarahinya didepan kelas dengan meremehkan ketentuan agama yaitu ketika guru tersebut akan membawa anak didiknya pergi berenang. Anak tadi bertanya, “bagaimana mungkin anak perempuan bersama anak laki-laki dalam pakaian renang?”
Guru olah raga yang tidak bijaksana tersebut menjawab sambil mengejek, “apakah kamu berenang pake rukuh (telekung).” Anak-anak terawa, tetapi anak yang bertanya tadi diam dan merasa sangat malu serta bingung, apa yang harus diperbuatnya. Selama ini ia tahu bahwa wanita itu harus menutupi tubuhnya karena ada ketentuan agama yang harus dipatuhi. Akan tetapi gurunya mengejeknya ketika ia bertanya untuk mendapatkan penjelasan agar ia dapat keluar dari kesukarannya itu. Ia tidak dapat menyelesaikan persoalannya itu, akhirnya ia jatuh kepada gangguan kejiwaan. Bagi anak-anak lain yang tidak mengalami gangguan kejiwaan mendengar jawaban guru tersebut bisa saja menyebabkan mereka condong untuk meremehkan ketentuan agama.
C.     Guru Sebagai Pribadi Kunci
          Di sekolah, figur guru merupakan pribadi kunci. Gurulah panutan utama bagi anak didik. Semua sikap dan perilaku guru akan dilihat, didengar, dan ditiru oleh anak didik. Ucapan guru dalam bentuk perintah dan larangan harus dituruti oleh anak didik. Sikap dan perilaku anak didik berada dalam lingkaran tata tertib dan peraturan sekolah. Guru mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk mendidik anak didik. Guru mempunyai hak otoritas untuk membimbing dan mengarahkan anak didik agar menjadi manusia yang berilmu pengetahuan di masa depan. Tidak ada sedikit pun tersirat di dalam benak guru untuk mencelakakan anak didik dan membelikkan perilakunya kearah jalan yang tidak baik.
Sebagai pribadi yang selalu ditiru, tidaklah berlebihan bila anak didik mengharapkan figur guru yang senantiasa memperhatikan kepeningan mereka. Figur guru yang senantiasa memperhatikan kepentiangan anak didik biasanya mendapatkan ekstra perhatian dari anak didik. Anak didik senang dengan sikap dan perilaku yang baik yang diperlihatkan oleh guru. Seperti yang di kutip oleh Syaiful Bahri djamarah (1994 : 61), frend W, Hart telah melakukan penelitian terhadap 3.735 orang anak didik HIG HTS School di Amerika Serikat. Dari hasil penelitiannya itu, dia mengemukakan sepuluh sikap yang baik yang disenangi anak didik  sebagai berikut:
1.      Suka menolong pekerjaan sekolah dan menerangkan pelajaran dengan jelas dan mendalam serta menggunakan contoh-contoh yang baik dalam mengajar.
2.      Periang dan gembira, memiliki perasaan homur dan suka menerima lelucon atas dirinya.
3.      Bersikap bersahabat, merasa sebagai seorang anggota dalam kelompaok kelas.
4.      Menaruh perhatian dan memahami anak didik.
5.      Berusaha agar pekerjaan menarik, dapat membangkitkan keinginan-keinginan bekerja sama dengan anak didik.
6.      Tegas, sanggup menguasai kelas dan dapat membangkitkan rasa hormat pada anak didik.
7.      Tidak ada yang lebih disenangi, tak pilih kasih, dan tak ada anak emas atau anak tiri.
8.      Tidak suka mengomel, mencela dan sarkastis.
9.      Anak didik  benar-benar merasakan bahwa ia mendapatkan sesuatu dari guru.
10.  Mempunyai pribadi yang dapat daimbil contoh dari pihak anak didik dan masyarakat lingkungannya.

Selain ada guru yang disukai oleh anak didiknya, tentu saja ada juga guru yang tidak disukai oleh anak didiknya di sekolah.Guru yang tidak disukai anak didiknya disebabkan budi pekerti guru dalam pandangan anak didik tidak baik. Setiap anak didik mempunyai pandangan  tersendiri terhadap guru yang akan atau yang sudah mengajarnya dan mendidiknya. Seperti yang telah dikutip Syaiful Bahri Djamarah (2008 : 106-107) ada beberapa sifat-sifat guru yang tidak disukai oleh anak didik sebagai berikut:
1.      Guru yang sangat sering marah-marah, suka merepek,, tak pernah tersenyum, suka menghina, sarkastis, lekas mengamuk.
2.      Guru yang tidak suka membantu dalam pekerjaan sekolah, tidak menerangkan pelajaran dan tugas-tugas dengan jelas.
3.      Guru yang tidak adil, mempunyai anak-anak kesayangan, membenci anak-anak tertentu.
4.      Guru yang tinggi hati, menganggap dirinya lebih dari orang lain, ingin berkuasa dan menunjukkan kelebihannya, tidak mengenal anak didik di luar sekolah.
5.      Guru yang berhati busuk tak karuan, tak toleran, bertabiat kasar, terlampau keras dan kaku, menyusahkan hidup anak di dalam kelas.
6.      Guru yang tidak adil dalam memberi angka, dalam ulangan dan ujian.
7.      Guru yang tidak mengacuhkan perasaan anak didik, membentak-bentak anak didik di depan anak-anak lain, anak-anak takut dan tak senang.
8.      Guru yang tak menaruh minat terhadap anak-anak dan tidak memahami mereka.
9.      Guru yang memberi tugas dan pekerjaan rumah yang bukan-bukan.
10.  Guru yang tak dapat menjaga ketertiban di kelas, tak dapat mengendalikan kelas, tidak menimbulkan resfek dari anak didik.

Jadi yang dikehendaki oleh anak didik tidak hanya kecakapan guru mengajar di kelas, melainkan yang lebih penting adalah kepribadian guru. Kepribadian guru itulah yang turut menentukan apakah belajar di kelas merupakan suatu penderitaan atau kebahagiaan bagi anak didik. Tentu saja semua anak didik dan  masyarakat menginginkan guru yang mempunyai kepribadian yang baik dan mulia tetapi mereka juga ingin guru yang mengajar di sekolah adalah guru yang memenuhi kriteria guru yang di sukai seperti yang telah disebutkan di atas.Selain mempunyai kepribadian yang baik sebagai teladan, guru harus memiliki kepribadian yang dapat dijadikan profil dan idola, seluruh kehidupannya adalah figur yang paripurna. Itulah kesan terhadap guru sebagai sosok yang ideal. Sedikit saja guru berbuat yang tidak atau kurang baik, akan mengurangi kewibawaannya dan kharisma pun secara perlahan lebur dari jati diri. Karena itu, kepribadian adalah masalah yang sangat sensitif sekali. Penyatuan kata dan perbuatan dituntut dari guru, bukan dari perkataan dan perbuatan, ibarat kata pepatah, pepat di luar runcing di dalam.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2005 : 42) Profil guru yang ideal adalah sosok yang mengabdikan diri berdasarkan panggilan jiwa, panggilan hati nurani, bukan karena tuntutan uang belaka, yang membatasi tugas dan tanggung jawabnya sebatas dinding sekolah. Guru dengan kemuliaannya, dalam menjalankan tugas, tidak mengenal lelah. Hujan dan panas bukan rintangan bagi guru yang penuh dedikasi  dan loyalitas untuk turun ke sekolah agar dapat bersatu jiwa dalam perpisahan raga dengan anak didik. Raga guru dan anak didik boleh terpisah, tetapi jiwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Guru dan anak didik adalah “Dwi Tunggal”. Oleh karena itu, dalam benak guru hanya ada satu kiat bagaimana mendidik anak didik agar menjadi manusia dewasa susila yang cakap dan berguna bagi agama,nusa, dan bangsa di masa yang akan datang.

Posisi guru dan anak didik boleh berbeda, tetapi keduanya tetap seiring dan setujuan,bukan seiring tapi tidak setujuan. Sering dalam arti kesamaan langkah dalam tujuan bersama. Anak didik berusaha mencapai cita-citanya dan guru dengan ikhlas mengantar dan membimbing anak didik ke pintu gerbang cita-citanya. Itulah barangkali sikap guru yang tepat sebagai sosok pribadi yang mulia. Jadi,Kewajiban guru adalah  menciptakan “Khairunnas”,  yakni manusia yang baik.

D.    Kepribadian Guru Madrasah Ibtidayah (Tingkat SD)
Kita sebagai calon guru hendaknya mengetahui dan mengerti betul bahwa kepribadian yang tercermin dalam berbagai penampilan itu ikut menentukan tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan lembaga pendidikan tempat kita mengajar pada khususnya. Tujuan tersebut dapat dipelajari dalam kurikulum lembaga pendidikan yang bersangkutan. Kita perlu tahu bahwa kepribadian kita sebagai guru sedikit banyak  akan diserap dan dimbil oleh anak didik menjadi unsur dalam kepribadiannya yang sedang bertumbuh dan berkembang itu. Persyaratan kepribadian bagi guru madrasah, jauh lebih perlu mendapat perhatian, jika tujuan madrasah dalam pembinaan anak didik tersebut ingin dicapai.
                        Jika sekolah ingin membina anak didik menjadi seorang muslim yang bertaqwa dan berakhlak mulia, maka semua guru yang mengajar di sekolah itu harus mempunyai kepribadian muslim, taqwa yang berakhlak mulia, karena anak didik pada umur Ibtidayah (tingkat dasar) belum mampu berfikir logis, pertumbuhan kecerdasannya masih dalam tahap permulaan dan pembinaan kepribadian bagi mereka, lebih banyak melalui latihan dan contoh. Apabila guru benar-benar memenuhi syarat sebagai contoh, maka pembinaan kepribadian anak didik akan dapat dilaksanakan dengan mudah, sebab contoh yang disertai latihan, secara berangsur-angsur dapat menanamkan kebiasaan mengamalkan agama Islam, selanjutnya akan menumbuhkan rasa cinta kepada agama Islam.
Madrasah Ibtidayah di Indonesia bertujuan pula untuk mencetak anak didik menjadi seorang warga Negara Indonesia yang baik,menerima dan mau melaksanakan pancasila dan UUD 1945 serta menghargai kebudayaan nasional. Untuk menanamkan sikap yang seperti itu diperlukan guru yang memahami UUD 1945 dan mempunyai kepribadian yang sesuai dengan UUD 1945 tersebut,sehingga  anak didik menemukan langsung contoh kepribadian muslim Indonesia yang terpadu di dalamnya nilai-nilai Islam dan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 secara serasi.
Madrasah Ibtidayah bertujuan juga untuk menumbuhkan nilai dan sikap positif lainnya yang diperlukan bagi seorang muslim Indonesia yang baik sehat jasmani dan rohaninya, berfikiran maju, berminat kepada ilmu pengetahuan, berinisiatif, berdaya kreatif dan menghargai setiap jenis pekerjaan dan usaha yang halal. Sikap dan penampilan kepribadian semua guru harus pula menggambarkan semua nilai tersebut. Tanpa hidupnya nilai dan sikap tersebut dalam pribadi setiap guru yang mengajar di Madrasah Ibtidayah, sukarlah mengharapkan pembinaan nilai dan sikap yang diharapkan oleh kurikulum madrasah ibtidayah itu.
Sikap hidup sebagai manusia individu dan manusia sosial dari warga Negara Indonesia muslim yang baik dan taqwa, yang tercermin dalam sikap demokratis, tenggang rasa dan mencintai sesama manusia yang menghargai waktu, hemat dan produktif dan lainnya yang tersebut dalam tujuan pendidikan Madrasah Ibtidayah perlu pula tercermin dalam semua penampilan kepribadian guru.
Pendek kata semua tujuan yang ingin di capai oleh Madrasah Ibtidayah yang di jabarkan dalam kurikulumnya, harus benar-benar dipahami dan dilaksanakan oleh semua guru dan tercermin dalam penampilan kepribadiannya.      
Sebagai calon guru kita perlu tahu bahwa anak didik yang akan kita bombing dan bina bukanlah orang dewasa yang sudah matang pertumbuhannya, akan tetapi ia adalah anak yang masih bertumbuh dalam segala hal, tingkat pertumbuhan dan kematangan tiap tingkat umurmempunyai kekhususan sendiri, berbeda dari tingkat lainnya. Maka cara kita menghadapi dan memperlakukan anak didik yang bermacam-macam itu harus sesuai dengan kekhususan umur tersebut. Guru yang mengerti dan memperlakukan anak didi dengan bijaksana akan disenangi oleh anak didik dan akan berhasil usahanya untuk mendidik dan membimbing anak didiknya.
Menurut Zakiah Daradjat (2005 : 49)  Kita sebagai guru juga mesti sadar bahwa setiap anak  masuk ke sekolah membawa segala latar belakang kehidupan dan pengalaman dari orang tua dan lingkungannya. Maka sebagai seorang guru kita harus mampu menampung beraneka ragam sikap dan kelakuan anak didik, semuanya harus mendapat perhatian dan pelayanan yang diperlukan sesuai dengan kemampuannya untuk menerima dan sesuai pula dengan diri pribadi yang dibawanya. Semua anak didik dengan latar belakang dan  pengalaman yang bermacam-macam itu, harus dibimbing dan diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai dalam kurikulum. Maka kelapangan dada, kebijaksanaan dan ketenangan jiwa kita sangat diperlukan , agar kita tidak terombang-ambing oleh keadaan anak didik yang beraneka ragam itu.
Anak didik pada tingkat Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidayah biasanya disebut anak pada usia sekolah, yaitu yang berada pada umur antara enam dan dua belas tahun. Umur tersebut mempunyai ciri dan kekhususan tertentu. Yang perlu mandapat perhatian oleh setiap guru. Pada umur ini anak-anak sibuk dengan pertumbuhan kecerdasan dan penangkapan atau persepsi, oleh karena itu bisa dikatakan bahwa anak pada umur ini baik dan menyenangkan, tidak nakal dan sudah mulai mengerti, tidak seperti anak antara umur dua dan lima tahun yang sibuk dengan pertumbuan jasmani cepat dan emosi berubah-ubah dalam waktu singkat, dan tidak pula seperti anak umur antara 13 dan 16  tahun yang mengalami pertumbuhan jasmani cepat dan emosi goncang.
Pada umur tujuh dan Sembilan tahun anak mengalami Pertumbuhan kecerdasan yang cepat, sehingga membuat mereka tertarik kepada cerita-cerita  atau kisah-kisah baik kisah nyata atau khayal. Guru yang bijaksana  pandai memulihkan kisah atau cerita yang cocok dan serasi dengan anak didik dan dapat diambil oleh anak untuk menjadi bahan identifikasi dalam pertumbuhan pribadinya.
Kepribadian guru yang tercermin dalam segala penampilannya itu hendaknya menarik, menyenangkan dan stabil, agar anak didik mendapat teladan yang baik dalam pertumbuhan pribadinya, serta tidak ragu-ragu bertindak dan bertingkah laku.
Barangkali itulah sebabnya maka ada ahli yang berpendapat bahwa hendakya yang menjadi guru pada tingkat Sekolah Dasar atau Madrasah ibtidayah terutama kelas satu dan dua, hendaknya guru yang berpengalman dan mempunyai kepribadian yang benar-benar memenuhi syarat.
E.     Pengertian Profesi dan Profesionalisasi
Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, istilah profesionalisasi ditemukan sebagai berikut: Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian ( keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. Profesional adalah (1) bersangkutan dengan profesi, (2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya dan (3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Seperti yang dikutip oleh Syafruddin Nurdin (2005 : 13), Moeliono (1988 : 702) “Profesionalisasi ialah proses membuat suatu badan organisasi agar menjadi professional”. Dari ketiga pengertian ini tersirat bahwa dalam profesi digunakan teknik dan prosedur intelektual yang harus dipelajari secara sengaja, sehingga dapat diterapkan untuk kemaslahatan orang lain. Dalam kaitan ini seorang pekerja profesional dapat dibedakan dari seorang amatir walaupun sama-sama menguasai sejumlah teknik dan prosedur kerja tertentu, seorang pekerja profesional harus memiliki informed responsiveness “ ketanggapan yang berlandaskan kearifan” terhadap implikasi kemasyarakatan atas objek kerjanya. Dengan perkataan lain, seorang pekerja profesional memiliki filosofi untuk menyikapi dan melaksanakan pkerjaannya. 
Berdasarkan yang dikutip oleh Syafruddin Nurdin (2005 : 14-15), menurut Mukhtar Luthfi, ada delapan kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu pekerjaan agar disebut sebagai profesi, yaitu:                                                                          
Ø  Panggilan hidup yang sepenuh waktu
Profesi adalah pekerjaan yang menjadi panggilan hidup seseorang yang dilakukan sepenuhnya serta berlangsung untuk jangka waktu yang lama, bahkan seumur hidup;

Ø  Pengetahuan dan kecakapan / keahlian
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan atas dasar pengetahuan dan kecakapan / keahlian yang khusus dipelajari;
Ø  Kebakuan yang universal
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan menurut teori, prisip, prosedur dan anggapan dasar yang sudah baku secara umum (universal) sehingga dapat dijadikan pegangan atau pedoman dalam pemberian pelayanan terhadap mereka yang membutuhkan;
Ø  Pengabdian
Profesi adalah pekerjaan terutama debagai pengabdian pada masyarakat bukan untuk mencari keuntungan secara material / financial bagi diri sendiri;
Ø  Kecakapan diagnostic dan kompetensi aplikatif
Profesi adalah pekerjaan yang mengandung unsure-unsur kecakapan diagnostek dan kompetensi aplikatif terhadap orang atau lembaga yang dilayani;
Ø  Otonomi
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan secara otaonomi atas dasar prinsip-prinsip atau norma-norma yang ketetapannya hanya diuji atau dinilai oleh rekan0rekannya seprofesi;
Ø  Kode etik
Profesi adalah pekerjaan yang mempunyai kode etik yaitu norma-norma tertentu sebagai pegangan atau pedoman yang diakui serta dihargai oleh masyarakat; dan

Ø  Klien
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan untuk melayani mereka yang membutuhkan pelayanan (klien) yang pasti dan jelas subyeknya.

Profesionalisasi berhubungan dengan profil  guru walaupun potret guru yang ideal memang sulit didapat namun kita bpleh menerka profilnya. Guru idaman merupakan produk dari keseimbangan antara penguasaan aspek keguruan dan disiplin ilmu. Di banyak negara, para pendidik tidak setertekan dan sehiruk-pikuk pendidik di Indonesia, berbicara tentang perbaikan kesejahteraan sosial sekaligus tentang peningkatan profesionalisme guru. Biaya, tenaga, dan sumber-sumber lainnya telah banyak dikeluarkan untuk menghadapi masalah tersebut. Tetape prosfek penyelesaiannya belum juga Nampak. Masalah kesejahteraan malahan sering kali berubah menjadi masalah politik. Begitu juga dengan masalah profesionalisme.
                        Begitu banyak usaha memperkatakannya, tetapi begitu sedikit hasilnya. Padahal , melihat pada intensitas dan frekuensi yang tinggi dalam pemahasan profesionalisme guru, mustinya kita sudah mempunyai angkatan guru yang benar-benar professional. Tetapi ternyata kita tidak cukup memiliki potensi yang diharapkan. Mengapa begitu?
                        Diantara sebabnya adalah karena yang kita perjuangkan adalah menghasilkan Begawan guru yang mampu memberikan maha karya; kita bangun konsep profesionalisme yang begitu teknis, semakin sukar (andaikan mungkin!) menemukan manusai yang mmenuhi persyaratan itu.
                        Guru yang unggul dinilai bukan dari definisi, tetapi dari prestasi. masyarakat menghendaki guru yang profesional maksudnya disini adalah guru yang baik, yang lahir dari manusia yang baik,sederhana dan sewajar itu. Hanya itu yang masyarakat inginkan tidak lebih Ukuran dari itu. Masyarakat tidak ingin mengubah  guru menjadi malaikat karena itu mustahil.
                        Seperti yang dikutip oleh Departemen Agama Republik Indonesia (2005 : 15-16) Seorang guru harus mencerminkan lima karakteristik dasar yang dituntutdar padanya, dan yang dijadikan sebagai  modal terpenting ntuk semakin meningkatkan kompetensinya dari segi teknis profesional, yaitu:
·         Mereka yang Amanah menerima tugas sebagai ibadah
·         Mereka yang Memiliki sefat Interpersonal yang kuat
·         Mereka yang Berpandangan hidup moral yang beradab
·         Mereka yang Menjadi teladan dalam kehidupan
·         Mereka yang Mempunyai hasrat untuk terus berkembang.

F.      Menurunnya profesionalisme guru
Masyarakat sangat menyealkan apabila guru-guru, yakni  mereka yang dipercaya untuk memantapkan penidikan anak-anak bangsa, ternyata sudah semakin tidak dapat diperhitungkan. Ironis, bahwa  semaikin banyak syarat ideal yang dikemukakan  untuk dipenuhi seorang yang mau menjadi guru, semakin sukar menemukan orang yang mmpu memenuhi kriteria tersebut. Apakah ini berarti bahwa manusia Indonesia secara kualitatif, memang sudah semakin menjauhi sifat-sifat keguruan? Masyarakat bahkan tidak dapat dipersalahkan apabila bersikap sudah tidak dapat memberikan toleransi kepada guru-guru yang menjadi guru yang wajar-wajar sajapun (tidak usah guru teladan) Ternyata sudah tidak mampu! Kalau guru tidak dapat menjadi presiden tidak mengapa; tapi kalau guru tidak dapat mengajar, ini jelas musibah.
 Sebagaimana yang kita tahu sekarang ini Apabila dikaitkan dengan kondisi kependidikan di tanah air  yang sedang melalui masa peralihan, maka jelas profesionalisme guru saat ini menurun. Ketika banyak masalah pendidikan yang muncul di tanah air yang berimplikasikan pada tuntutan profesionalisme guru, maka itu berarti bertambahlah masalah yang harus dipecahkan oleh guru-guru (terutama guru yang tidak professional).
Pilihan yang tersisa ialah bagaimana memahami problematika pendidikan dalam konsep dan dimensi yang lebih luas. Dengan demikian, maka akan semakin jelas kaitan masalah yang satu dengan masalah yang lain. Dengan demikian pula kita mungkin lebih berpeluang merumuskan pemecahan lebih konsepsional, tidak secara impulsive. Sudah waktunya kita sungguh-sungguh belajar dari pengalaman guru-guru di masa lalu, untuk tidak mengulang kesalahan yang fatal. Menerapkan penyelesaian dengan menerapkan pendekatan masa lalu adalah mengharapkan kemustahilan. Jadi kita sebagai calon guru sudah sepatutnya untuk belajar dan berusaha agar ketika kita menjadi guru nanti kita bisa menjadi guru yang profesional.
     







      










BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya. kepribadian merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru sebagai pengembang sumber daya manusia, karena selain sebagai pembimbing dan pembantu guru juga berperan sebagai anutan. Menurut syiful Bahri  Djamarah (2008 : 104)  secara keseluruhan guru adalah figur yang menarik perhatian semua orang, entah dalam keluarga, dalam masyarakat atau di sekolah. Masyarakat melihat manusia sebagai manusia serba bisa tanpa cela dan nista. Mereka melihat guru sebagai figur yang kharismatik. Kemuliaan seorang guru tercermin dari kepribadian sebagi manifestasi dari sikap dan perilaku dari kehidupan sehari-hari.
Jadi kita sebagai calon guru mulai dari sekarang harus belajar untuk memiliki kepribadian yang baik jika kita ingin menjadi guru yang di sukai anak didik dan berhasil dalam mengajar.

Sebagaimana yang kita tahu sekarang ini Apabila dikaitkan dengan kondisi kependidikan di tanah air  yang sedang melalui masa peralihan, maka jelas profesionalisme guru saat ini menurun. Ketika banyak masalah pendidikan yang muncul di tanah air yang berimplikasikan pada tuntutan profesionalisme guru, maka itu berarti bertambahlah masalah yang harus dipecahkan oleh guru-guru (terutama guru yang tidak professional). Maka dari itu sebagai calon guru dari sakaranglah kita mulai belajar menjadi professional agar ketika ketika kita menjadi guru, kita bisa menjadi guru yang professional sesuai dengan keinginan masyarakat untuk memajukan pendidikan.

B.     Saran
Agar tujuan pendidikan bisa tercapai maka kita sebagai guru / calon guru harus bisa mengoreksi terlebih dahulu bagaimana kepribadian kita, apabila kepribadian kita ada yang kurang baik kita bisa mengubahnya karena sebagaimana yang kita tahu anak didik kita sedikit banyaknya pasti akan mengikuti kepribadian kita. Karena kita sebagai guru merupakan anutan mereka. Jika ingin menghasilkan anak didik yang berkepribadian baik, maka diperlukan pula guru yang berkepribadian baik pula. Selain berkepribadian baik, dari dulu sampai sekarang bahkan masa yang akan datang seorang guru itu dituntut menjadi guru yang profesional. Maka dari itu kita harus bisa menjadi guru yang profesional agar tak tersingkirkan dan tetap bisa survive di dunia pendidikan. Saat ini profesionalisme guru menurun, guru-guru banyak yang hanya menuntut kesejahteraannya tanpa memikirkan profesionalismenya. Sebenarnya jika guru tersebut profesional masyarakat dan pemerintah pasti tidak akan mempersulit kesejahteraannya, tanpa perlu menuntut kesejahteraannya pun pasti dengan rela pemerintah memberikan kesejahteraan untuk guru tersebut. Jadi intinya dari sekarang kita perlu mempersiapkan diri kita agar menjadi guru yang profesional dan berkepribadian baik. Dari sekaranglah kita menyiapkannya mumpung kita masih calon guru dan menuju pada profesi keguruan. Seandainya semua guru di Indonesia ini professional dan berkepribadian baik, maka anak-anak generasi penerus pasti juga akan baik.   
































DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakiah. 2005.  Kepribadian Guru. Jakarta: Bulan Bintang
Departemen Agama. 2005. Wawasan Tugas Guru dan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru dan Anak Didik. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Nurdin, Syafruddin. 2005. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta: Quantum Teaching.
Syah, Muhibbin. 2005. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar